Di sebuah startup teknologi di Bandung, muncul “perang dingin” kecil antara dua tim, kelompok developer (dev) dan tim desainer.
Tim dev dipimpin Rian, engineer yang terkenal cepat dan perfeksionis soal struktur kode. Sementara tim desainer dikomandoi oleh Lita, UI/UX designer yang sangat peduli pada detail estetika dan pengalaman pengguna.
Masalah muncul saat Lita mengajukan desain baru untuk halaman onboarding. Desainnya keren, dipenuhi dengan ilustrasi dan transisi animasi halus. Sayangnya, saat diserahkan ke tim dev, Rian langsung geleng-geleng kepala.
“Kalau kita pakai animasi ini, performa aplikasi bisa drop. Waktu loading bakal lebih lama,” tolak Rian.
“Tapi user bakal lebih nyaman dan engaged kalau ada interaksi visual!” balas Lita tak mau kalah.
Begitulah awal mula perdebatan klasik antara “fungsionalitas” dan “estetika” yang banyak terjadi di tempat lain.
Mengapa dev dan desainer sering konflik?
Keduanya sebenarnya punya tujuan yang sama, yakni sama-sama ingin membuat produk hebat. Yang berbeda adalah sudut pandang mereka. Tim dev biasanya fokus pada logika, efisiensi, dan performa. Di lain sisi, desainer justru lebih memperhatikan tampilan, pengalaman, dan kenyamanan pengguna.
Kalau tidak ada jembatan di antara keduanya, gesekan akan terus terjadi. Padahal, kedua fungsi sangat krusial. Kolaborasi yang baik antara keduanya bisa menghasilkan produk yang tidak hanya fungsional dan bagus dari sisi visual.
Empati dan komunikasi jadi kunci
Gesekan antara Rian dan Lita akhirnya teratasi. Bagaimana caranya?
1. Tukar peran selama sehari
Lita ikut sesi review kode, sementara Rian diminta membuat wireframe desain sederhana. Setelah selesai, Rian berkomentar sambil tertawa, “Baru sehari nyentuh Figma, aku langsung pusing sendiri.”
“Dan aku juga baru sadar betapa rumitnya proses build animasi,” jawab Lita. Empati antara kedua pentolan tim mulai tumbuh.
2. Rutin bertemu lewat “Desain-Dev Sync”
Setiap minggu, kedua tim yang berbeda peran ini bertemu untuk saling update. Di sesi tersebut, mereka saling memberi masukan, dan menyepakati batasan teknis dan visual sebelum produksi dimulai.
3. Gunakan tools kolaboratif
Mereka mulai memanfaatkan Figma, Zeplin, hingga membuat sistem design token yang bisa langsung dibaca oleh dev. Komunikasi jadi lebih visual, tidak hanya lewat chat panjang yang bikin frustasi.
Penggunaan alat yang tepat memang mempengaruhi kelancaran kolaborasi. Dengan alat-alat ini, desainer dan developer dapat dengan mudah melihat perubahan yang dilakukan, memberikan feedback, dan melakukan revisi tanpa kebingungannya terjadi secara berlarut-larut.
Kolaborasi hebat bukan tentang siapa yang menang
Kini, setiap kali ada fitur baru, Lita dan Rian justru jadi tandem. Lita mendesain dengan mempertimbangkan batas teknis, dan Rian mengembangkan dengan menghargai nilai estetika desain. Mereka sadar, tanpa saling mengerti, produk yang mereka bangun tak akan pernah benar-benar utuh.
Komunikasi efektif ternyata menjadi kunci utama dalam kolaborasi antara tim dev dan desainer. Terkadang, masalah muncul karena kurangnya komunikasi yang jelas mengenai apa yang diinginkan oleh kedua pihak. Menjadi penting untuk selalu menjaga saluran komunikasi terbuka dan jelas, sehingga kedua pihak bisa saling memahami kendala yang ada dan mencari solusi bersama-sama.
Latih kolaborasi Dev-Desain di DigiSkill Hub
Kamu juga bisa punya tim yang kompak seperti Rian dan Lita. Di DigiSkill Hub, ada pelatihan kolaborasi untuk tim digital—termasuk sesi praktikal bareng mentor berpengalaman dari dunia dev dan desain. Kunjungi www.digiskillhub.id untuk lihat program lengkapnya.
Yang patut diingat, setiap produk digital yang hebat selalu lahir dari kolaborasi yang sehat. Bukan dari siapa yang paling dominan, tetapi dari tim yang saling memahami, menghargai, dan berkembang bersama. Jadi, masih mau clash… atau kolaborasi?